Sabtu, 17 Juni 2017

KURIKULUM PENDIDIKAN SENI RUPA

A. Perkembangan Pendidikan Seni Rupa
Dalam sejarah perkembangannya, pendidikan seni rupa berawal dari pelajaran yang khusus diberikan kepada kelompok tertentu, yaitu para calon seniman, misalnya di Yunani kuno. Di tempat semacam bengkel (disebut guild), para pemuda belajar melukis atau membuat patung pada seorang seniman senior melalui model pencantrikan atau magang (apprentiiceship). Dengan demikian, pendidikan seni ini bertujuan untuk menguasai keterampilan membuat karya seni rupa. Pendidikan tradisional semacam ini merupakan terjadi pada masa lampau, termasuk juga di Indonesia.
Pada abad ke-18 muncul gagasan untuk memasukkan pendidikan seni rupa, dalam hal ini pelajaran menggambar, kedalam kurikulum sekolah umum. Gagasan ini mula-mula dicetuskan oleh Emile Rousseau, dan pada tahun 1774 Johannes Bernard Basedow merealisasikannya dengan mendirikan sekolah yang disebut sekolah Philantropinum. Di sekolah ini pelajaran menggambar diberikan di samping mata pelajaran bahasa, ilmu pasti, ilmu pengetahuan alam, olah raga, musik, dan tari. Metode pengajaran yang digunakan di sini adalah metode meniru, dengan membuat bentuk-bentuk sederhana, dengan garis-garis bantu, dan bahkan sampai pada menyelesaikan gambar dengan panduan titi-titik yang telah ditentukan (disebut stimografi).
Di Amerika Serikat, pelajaran menggambar baru dimasukkan ke kurikulum sekolah mulai tahun 1821, yang dilaksanakan secara besar-besaran. Namun pelajaran menggambar ini baru ditujukan untuk mendukung pendidikan teknik, terutama menggambar objek-objek geometris dengan menggunakan mistar. Selain menggambar objek, juga diberikan pelajaran menggambar ornamen yang juga menggunakan garis-garis pertolongan dan mistar.
Perkembangan pendidikan seni rupa yang penting terjadi pada akhir abad ke-19, sejalan dengan terjadinya reformasi pendidikan di berbagai negara besar seperti Jerman, Inggeris, dan Amerika Serikat. Reformasi pendidikan ini didorong oleh perkembangan psikologi tentang perkembangan anak, yang melahirkan metode-metode mengajar baru. Di Jerman, Alfred Lichtwark memunculkan upaya pembelajaran apresiasi seni bagi anak dengan mengunjungi museum-museum seni dan gereja-gereja untuk melihat karya-karya para seniman secara langsung. Konrad Lange menginginkan agar pendidikan seni rupa mengajarkan padangan-pandangan seni yang sedang berpengaruh pada waktu itu dan menegaskan bahwa pelajaran menggambar penting bagi pembentukan kepekaan estetik anak. Sementara itu, terdapat pula gerakan untuk menekankan kegiatan menggambar objek-objek alami. Penulis Jerman Georg Hirt menyatakan bahwa menggambar geometrik tidak mengembangkan fantasi, sehingga ia menganjurkan menggambar objek-objek alami seperti bunga, kupu-kupu, buah-buahan, dan sebagainya.
Pada tahun 1899 National Education Association (NEA) di Amerika Serikat, yang merupakan asosiasi pendidik professional menetapkan tujuan pendidikan seni rupa sebagai berikut:
1. Mengembangkan apresiasi terhadap keindahan.
2. Mengembangkan dorongan-dorongan kreatif.
3. Mengembangkan daya penglihatan.
4. Membantu mengembangkan kemampuan menyatakan sesuatu.
5. Menyiapkan keterampilan bagi anak-anak (bukan tujuan pokok).
6. Bagaimanapun juga pendidikan tidak menyiapkan anak untuk menjadi seniman professional.
Tujuan-tujuan tersebut di atas, khususnya tujuan nomor 5 dan 6, menunjukkan bahwa pendidikan seni rupa telah mengarah pada konsep pendidikan seni rupa yang tidak lagi sekedar mengembangkan keterampilan atau keahlian seni rupa itu sendiri. Perkembangan pendidikan seni rupa selanjutnya ditandai dengan pameran hasil karya anak-anak oleh Franz Gizek dari Wina, yang menunjukkan spontanitas dan asli kekanak-kanakan, dan bebas menyenangkan. Di antaranya ada gambar anak-anak yang dibuat dengan sobekan-sobekan kertas berwarna. Sejalan dengan Gizek, Maria Montessori berusaha menjadikan suasana sekolah sebagai lingkungan yang wajar, seperti suasana di rumah, agar anak-anak mendapatkan kesempatan menggambar dengan spontan. Dalam hal ini, Montessori menyatakan bahwa anak-anak perlu mengekspresikan dirinya.
Di Amerika Serikat, konsep pendidikan seni rupa yang modern muncul pada tahun 1920, yaitu “seni rupa sebagai sarana pendidikan” atau seni sebagai alat pendidikan, bukan sebagai pendidikan untuk membentuk seniman. Beberapa tahun kemudian, John Dewey menyampaikan pandangan bahwa seni rupa memberikan pengalaman-pengalaman, di antaranya: (1) pengalaman grafis (menggambar), (2) pengalaman susunan (desain), (3) pengalaman psikologis (apresiasi), dan (4) pengalaman khromatis (warna).
Pada tahun 1942 Victor D‟Amico menulis buku Creative Teaching in Art yang lebih menempatkan anak pada posisinya yang benar. Ia memandang anak sebagai “seniman”, sehingga istilah-istilah seperti “child as artist, child as painter,” dan “child as sculptor”, dan dengan sendirinya juga “children art”. Oleh karena itu, ia tidak menerima pekerjaan tangan sebagai unsur pendidikan seni rupa. Materi yang diberikan mencakup seni lukis, seni patung, seni grafis, dan sebagainya, yang lebih banyak menjamin ekspresi diri.
Lima tahun kemudian muncul buku Viktor Lowenfeld yang berjudul Creative and Mental Growth, yang menggolongkan anak-anak dalam tahap-tahap perkembangan seni rupa. Perkembangan seni rupa anak-anak ini didasarkan pada usia dan karakteristik hasil gambarnya. Pengetahuan mengenal gambar anak-anak ini melengkapi konsep child as artist. Periodisasi gambar anak-anak Viktor Lowenfeld ini lebih rinci dibandingkan dengan periodisasi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan munculnya konsep gambar anak-anak yang baru ini, pendidikan seni rupa telah mencapai konsep pendidikan yang modern, dan perkembangan-perkembangan selanjutnya hingga sekarang merupakan penyempurnaannya.
Pendidikan seni rupa ini di Indonesia juga telah ada sejak masa lampau, terbukti dengan adanya peninggalan purbakala seperti candi-candi, seni bangun, seni lukis, dan seni hias. Para seniman tentu telah mewariskan keahliannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang mungkin juga menggunakan sistem magang atau pencantrikan. Pendidikan seni rupa di Indonesia ini selanjutnya mendapat pengaruh dari pendidikan seni rupa yang berasal dari dunia Barat, yang dibawa oleh bangsa Spanyol, Portugis, dan Belanda.
Pada tahun 1950 di Indonesia muncul sekolah kelas satu (sekolah dasar) yang lamanya lima tahun, khususnya untuk anak-anak para pamong praja. Di samping pelajaran membaca, menulis, berhitung, menyanyi, ilmu alam, bahasa Jawa dan Melayu, sekolah ini memberikan pelajaran menggambar. Pelajaran menggambar ini pada dasarnya didasarkan pada kurikulum sekolah Belanda, dengan metode pembelajaran mencontoh, bahkan mencontoh gambar-gambar dari negeri asalnya, seperti kincir angin, bunga tulip, dan sapi perahan. Metode ini tentu saja tidak cocok untuk anak-anak Indonesia, dan untuk mengatasi ketimpangan itu, Steenderen dan Toot menulis buku Gauwen Goed, yang memberikan latihan keterampilan menggambar. Teknik menggambar ini mirip dengan metode Ferdinand dan Alexander Dupuis di Perancis, yang dimulai dengan latihan menggambar bentuk-bentuk dasar seperti garis lurus, miring, lengkung, lingkaran. Tujuan kegiatan menggambar di sini adalah untuk mendapatkan kesenangan.
Selain menggambar, di Indonesia juga telah diterapkan pelajaran seni kerajinan. Sejak tahun 1887 hingga 1889 F Graffland melakukan percobaan pengajaran kerajinan anyam di sekolah-sekolah di Ambon dan Menado. Oleh karena itu, sejak itu banyak orang Ambon mengenakan topi anyaman. Pada tahun 1904, J.H. Abendanon mendapat tugas menyelidiki kerajinan rakyat, dan kemudian menyarankan agar sekolah rendah memberikan pelajaran menggambar dan menganyam. Selanjutnya, R. Adolf mendapat tugas dari pemerintah Hindia
Belanda untuk merencanakan pelajaran kerajinan tangan di sekolah, dan sejak tahun 1926 pelajaran kerajinan tangan mulai diajarkan di sekolah guru (HIK dan Normaalschool). Beberapa tahun berikutnya para lulusan sekolah ini telah mengajarkan mata pelajaran tersebut di sekolah-sekolah. R. Adolf membagi pelajaran kerajinan tangan menjadi tiga jenis: (1) kerajinan tangan pedagogis, yang berfungsi membantu mata pelajaran lain, (2) kerajinan tangan social, termasuk membersihkan sekolah dan berkebun, (3) kerajinan tangan sebagai mata pelajaran khusus yang berdiri sendiri.
Tokoh bangsa Indonesia yang merintis pendidikan seni rupa adalah Ki Hajar Dewantara dan Moh. Syafei. Mereka mendirikan sekolah sendiri, Ki Hajar Dewantoro mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta, dan Moh. Syafei mendirikan INS di Kayutaman, Sumatera Barat. Di kedua sekolah tersebut telah diperhatikan pelajaran ekspresi, termasuk seni rupa. Pendidikan seni rupa, dalam pengertian pendidikan moderen, mulai dilaksanakan sejak munculnya kurikulum 1975, yang didasarkan pada konsep pendidikan melalui seni atau seni sebagai alat pendidikan. Sesuai dengan konsep ini, pendidikan seni rupa merupakan mata pelajaran umum, yang diberikan kepada semua siswa baik di sekolah dasar hingga sekolah menengah. Pendidikan seni rupa merupakan pembaharuan kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan keterampilan.
Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, terjadi perubahan paradigma pendidikan dengan munculnya menjadi kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum tahun tahun 2004, yang masih dilaksanakan secara terbatas. Kurikulum sebelumnya merupakan kurikulum berbasis isi, dengan garis-garis besar program pengajaran (GBPP) yang berisi pokok-pokok bahasan materi pelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kurikulum 2004 kemudian disempurnakan menjadi Kurikulum 2006, yang didasarkan pada Standar Isi yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum baru ini selanjutnya dikenal sebagai kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
B. Pendidikan Seni Rupa dalam KTSP
Dalam KTSP, pendidikan seni rupa menjadi bagian dari mata pelajaran Seni Budaya untuk SMP/MTs dan SMA/MA, dan mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk SD/MI. Baik di SD/MI, SMP/MTs, maupun di SMA/MA mata pelajaran seni budaya diberi alokasi waktu dua jam pelajaran. Mata pelajaran Seni Budaya mencakup seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater.
Dalam Standar Isi disebutkan bahwa pendidikan seni budaya diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatannya bagi perkembangan peserta didik. Pendidikan seni didasarkan pada pendekatan “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Belajar dengan seni berarti bahwa dengan mempelajari seni, peserta didik dapat mengembangkan pengetahuannya di luar bidang seni. Dalam belajar melalui seni, peserta didik dapat mengembangkan pengetahuannya melalui berkreasi seni. Belajar tentang seni berarti bahwa peserta didik diharapkan dapat mengembangkan pengetahuannya tentang seni itu sendiri. Dengan demikian pembelajaran seni di sini dipandang sebagai metode belajar.
Selain pendekatan tersebut, pendidikan seni budaya dipandang secara multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual berarti pengembangan kemampuan mengekspresikan diri melalui berbagai media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional berarti pengembangan berbagai kompetensi meliputi konsepsi (aspek kognitif), apresiasi (aspek afektif), dan kreasi (aspek psikomotor) dengan memadukan unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Multikultural berarti bahwa pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara, yang merupakan wujud sikap demokratis agar seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk.
Pendidikan seni budaya juga dipandang memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang mencakup kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional.
Bidang seni rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang diberikan dalam pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Hal ini dilakukan dengan eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.
Mata pelajaran Seni Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3) menampilkan kreativitas melalui seni budaya, dan (4) menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global. Selanjutnya mata pelajaran Seni Budaya mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Seni rupa, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dan sebagainya
2. Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya musik
3. Seni tari, mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi, apresiasi terhadap gerak tari
4. Seni teater, mencakup keterampilan olah tubuh, olah pikir, dan olah suara yang pementasannya memadukan unsur seni musik, seni tari dan seni peran.
Di antara keempat bidang seni yang ditawarkan, minimal diajarkan satu bidang seni sesuai dengan kemampuan sumberdaya manusia serta fasilitas yang tersedia di sekolah. Untuk sekolah yang mampu menyelenggarakan pembelajaran lebih dari satu bidang seni, peserta didik diberi kesempatan untuk memilih bidang seni yang akan diikutinya.
Berdasarkan pendekatan, pandangan, dan tujuan tersebut, pendidikan seni dilaksanakan dalam bentuk kegiatan berekspresi (berkreasi) dan berapresiasi seni. Untuk itu, di dalam kurikulum tersebut ditetapkan dua standar kompetensi (SK) untuk bidang seni rupa, yaitu mengapresiasi karya seni rupa dan mengekspresikan diri melalui karya seni rupa. Standar kompetensi mengapresiasi seni rupa mencakup kemampuan mengidentifikasi dan menampilkan sikap apresiasi terhadap karya seni rupa. Standar kompetensi mengekspresikan diri melalui karya seni rupa mencakup kemampuan menciptakan karya seni rupa serta melaksanakan pameran seni rupa. Kemampuan-kemampuan tersebut dirumuskan menjadi sejumlah kompetensi dasar (KD) yang meliputi berbagai cabang seni rupa (seni murni dan terapan) dan cakupan wilayah (lokal/daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara).
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pendidikan seni rupa di SD/MI sampai dengan SMA/MA selengkapnya sebagai berikut:
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
Kelas I, Semester 1
1. Mengapresiasi karya seni rupa
1.1 Mengidentifikasi unsur rupa pada benda di alam sekitar
1.2 Menunjukkan sikap apresiatif terhadap unsur rupa pada benda di alam sekitar
2. Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa
2.1 Mengekspresikan diri melalui gambar ekspresif
2.2 Mengekspresikan diri melalui teknik menggunting/menyobek
Kelas I, Semester 2
7.  Mengapresiasi karya seni rupa
7.1 Mengidentifikasi unsur rupa pada benda di alam sekitar
7.2 Menyatakan sikap apresiatif terhadap unsur rupa pada benda di alam sekitar
8. Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa
8.1 Mengekspresikan diri melalui karya seni gambar ekspresif
8.2 Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa dua dimensi dengan teknik menempel
Kelas II, Semester 1
1. Mengapresiasi karya seni rupa
1.1 Mengenal unsur rupa pada karya seni rupa
1.2 Menunjukkan sikap apresiatif terhadap unsur rupa pada karya seni ruparupa pada benda di alam sekitar
2. Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa
2.1 Mengekspresikan diri melalui gambar ekspresif
2.2 Mengekspresikan diri melalui teknik cetak tunggal
Kelas II, Semester 2
8. Mengapresiasi karya seni rupa
8.1 Mengidentifikasi unsur rupa pada karya seni rupa
8.2 Menunjukkan sikap apresiatif terhadap unsur rupa pada karya seni rupa tiga dimensi
9. Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa
9.1 Mengekspresikan diri melalui gambar ekspresi
9.2 Menggunakan klise cetak timbul
9.3 Mengekspresikan diri melalui teknik cetak timbul

Tampak pada rangkaian standar kompetensi dan kompetensi dasar di atas bahwa kurikulum pendidikan seni rupa dikembangkan secara berulang atau siklus, yang semakin tinggi jenjang kelasnya semakin meluas dan mendalam. Secara umum standar kompetensi mengapresiasi seni rupa dijabarkan menjadi kompetensi dasar mengidentifikasi keunikan gagasan dan teknik seni rupa, sedangkan standar kompetensi berkreasi seni dijabarkan menjadi kompetensi dasar merancang dan/atau membuat karya seni rupa serta menyiapkan dan/atau memamerkan karya seni rupa.
Sesuai dengan namanya (KTSP), kurikulum pendidikan seni rupa disusun oleh sekolah, yaitu oleh guru seni rupa. Untuk melaksanakan kurikulum tersebut, guru harus mengembangkan perencanaan pembelajaran dalam bentuk silabus, yang mencakup SK dan KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelalajaran, indikator, dan sistem penilaian. Tugas membuat silabus ini tidak dikenal dalam kurikulum sebelumnya, dan merupakan tantangan baru bagi guru seni rupa, karena guru harus mampu menentukan sendiri aspek-aspek dalam silabus tersebut (kecuali SK dan KD) sesuai dengan karakteristik daerahnya. Selanjutnya, sebagai kelengkapan KTSP, guru juga harus mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yang mencakup SK dan KD, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Untuk mengembangkan perencanaan pembelajaran ini, guru harus memahami konsep-konsep pendidikan seni rupa serta pembelajaran pada umumnya yang mutakhir.


Daftar Pustaka:

Retnowati, Tri Hartiti dan Bambang Prihadi. 2010. Pembelajaran Seni Rupa. Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses pada tanggal 24 Mei 2017. Dalam http://staffnew.uny.ac.id/upload/131662618/pendidikan/modul+pembelajaran+seni+rupa.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMBELAJARAN DI KELAS A.     Pengertin Pembelajaran Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber b...