Sabtu, 17 Juni 2017

FENOMENA GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Dalam, Jajang Suryana (2010) : menyatakan bahwa pola gambar gunung kembar menjadi fenomena yang menarik sebagai bahan kajian dalam membahas gambar karya anak-anak Indonesia. Pola ini, selalu muncul dalam gambar buatan anak-anak di manapun anak-anak itu bertempat tinggal. Pola pengaruh lingkungan yang selama ini ditunjuk sebagai kekuatan yang bisa mewarnai kegiatan menggambar anak-anak, ternyata tidak semuanya bisa dibuktikan. Ada sesuatu yang jelas menjadi penanda munculnya gambar pola gunung kembar, yaitu ketika anak-anak mulai berhubungan dengan orang lain di luar keluarganya. Terutama ketika anak-anak mulai memasuki dunia sekolah: Taman Kanak-kanak (TK), berlanjut ke tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan hingga sekolah menengah (SMP dan SMA).
         
         





BEBAN DALAM POLA GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Dalam, Jajang Suryana (2010) : menyatakan bahwa sebuah kondisi umum yang ditemukan dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung kembar" adalah 2 bidang 'luas' yang sulit ditaklukan oleh anak-anak. Pola gambar tersebut menyisakan dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa melelahkan. Seseorang yang ingin mengisi kedua bidang tersebut, harus berpikir "bagaimana mengisi lahan luas di depan penggambar hingga ujung kaki gunung"? Kesadaran bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang amat luas, amat jauh, memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak objek dalam dua bagian lahan tadi.
Bagi anak-anak sekolah TK dan SD kelas rendah, kondisi itu tidak terlalu memberatkan. Bagi mereka, isi tegalan bisa berupa satu rumah, satu pohon besar (pohon kayu atau kelapa), satu orang, dan satu vas bunga. Bagi mereka isi tegalan yang luas itu cukup dengan objek-objek tadi. Tetapi bagi anak-anak kelas 5 dan 6 SD misalnya, apalagi remaja SMP dan SMA, mereka dibebani oleh 'keharusan' mengisi ruang dengan objek gambar yang "rasional". Beban inilah yang kerap dikeluhkan oleh anak-anak dan remaja yang sejak awal hanya bisa menggambar mengikuti pola "gunung kembar".
Anak-anak yang pola berpikir ruangnya telah mengikuti pola pikir teori gambar perspektif, di antaranya bisa mengatasi beberapa kendala pola gambar "gunung kembar" itu. Misalnya, mereka menemukan bahwa objek yang dekat dengan penggambar ukurannya lebih besar, sehingga bisa menutup sebagian ruang gambar. Sementara gambar objek lainnya yang jauh dari penggambar, dibuat dengan ukuran lebih kecil, dan sebagian terhalang objek yang lebih dekat posisinya. Objek disusun bersaf saling menghalangi. Ada juga yang menemukan cara "perebahan" yang khas. Contohnya, ketika ada gambar objek jalan yang telah dibuat, maka gambar pohon, tiang listrik, rumah, atau objek lainnya direbahkan ke arah sisi jalan yang berbeda: ke kiri dan ke kanan. Gambar kendaran bisa digambarkan rebah ke arah kiri atau ke kanan. Dan yang lebih unik, ketika ada gambar sebuah lapangan atau kolam dengan dasar gambar segi empat, objek-objek akan digambarkan rebah keempat arah sisi bentuk sebi empat objek. Namun kebanyakan anak dan remaja mengalami kesulitan karena mereka menggunakan pola gambar perspektif burung: semua objek digambar dengan posisi penggambar dari arah atas.
Yang perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek, bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek selalu menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya. Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan rasio. Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja. Apalagi jika beban itu ditambah oleh pertanyaan dan pernyataan guru atau orang tua: "Kok gambarnya begitu? Mengapa tidak begini dan begitu?"!

Tegalan yang luas, dalam pola gambar "gunung kembar", menjadi beban tersendiri bagi anak-anak
yang telah 'dikuasai' pertimbangan rasionya

Bagian lahan berair menjadi pilihan yang dianggap 'aman' untuk mengisi ruang gambar yang luas, di samping tegalan yang tak rimbun


Gambar jalan dalam pola gambar "gunung kembar" seolah menjadi objek 'wajib'. Anak-anak tertentu menggarap penggambaran gunung menjadi lebih beragam dari pola dasar yang telah mereka dapatkan


Pola gambar perspektif burung, penggambar berada di posisi atas, menyebabkan lahan gambar yang
semakin luas, semakin berat beban keharusan dalam mengisi lahan luas tersebut


Objek yang dekat dengan penggambar telah direkam secara benar (menurut rasio), sementara objek lainnya masih diposisikan sesuai dengan imajinasi penggambar


Petak-petak sawah dan vas bunga menjadi sangat penting dalam gambar ini, sehingga ukurannya (secara rasio) lebih besar daripada objek lainnya, objek rumah misalnya


Kesadaran perspektif mulai tampak lebih dominan dalam gambar ini. Objek-objek mulai ditempatkan
'sesuai dengan posisinya'. Tetapi, beban tegalan masih menjadi beban yang jug dominan


Meniru lingkungan, paling tidak meniru gambar hasil karya orang dewasa, telah mengubah
bebarapa bagian gambar yang dibuat oleh anak-anak


Pola perebahan objek gambar mengikuti arah bidang gambar, misalnya jalan, di sini kentara sekali, terutama dalam penggambaran kendaraan dan sebagian pohon yang ada di pinggir jalan. Imajinasi penggambar, dalam gambar ini, sangat dominan dibanding rasionya

Kembali ke Gambar Gunung Kembar
Dalam, Jajang Suryana (2015) : menyatakan bahwa rasa penasaran kembali muncul ketika seorang mahasiswa yang saya bimbing menemukan kenyataan unik di lapangan. Dia melakukan penelitian quasi eksperimental terhadap dua kelompok (dua kelas) anak PAUD di sebuah sekolah swasta di Bali. Sekolah ini, sebagaimana sekolah-sekolah lainnya, menurut informasi yang dapat saya himpun, telah “mengikuti” pesanan orang tua siswa. Sekolah telah menyelenggarakan ekstra kurikuler berupa ekstra menggambar, ekstra bahasa Inggris, dan ekstra renang, untuk anak PAUD binaannya. Salah satu bidang ekstra yang dijadikan sasaran penelitian mahasiswa saya adalah ekstra menggambar. Kegiatan penelitian yang terkait dengan laporan skripsi ini, tentu, sangat  bisa dipertanggungjawabkan kandungan ilmiahnya.
Di lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis kegiatannya, bisa melukis, mematung, membuat karya kriya, peniruan demi peniruan terus dilakukan. Seniman yang menjadi pendahulu satu bentuk kegiatan (pola karya) tertentu, tidak pernah merasa keberatan jika gaya melukis atau mematungnya ditiru seniman lain. Mereka saling melengkapi temuan dalam membangun gambaran pola karya milik masyarakat Bali. Oleh karena itu, ketika satu pola karya muncul, kemudian jenis karya tersebut disukai pasar, tren itu akan menjamur di setiap sudut sentra kegiatan industri kreatif masyarakat Bali. Hal itu akan berjalan normal tanpa tuntut-tuding meniru, menjiplak, atau plagiat. Pola tersebut telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Dalam sejumlah kasus, hasil kegiatan di lingkungan pendidikan formal kesenirupaan pun masih banyak ditemukan karya mahasiswa yang menampakkan pengaruh warna guru-murid.
Maraknya tuntutan HaKI (hak atas kekayaan intelektual), hal itu juga muncul dari pikiran dan ego masyarakat Barat, merasuk juga ke wilayah masyarakat heterogen tradisi-modern. Wacana tentang masalah tersebut sempat ramai di lingkungan tradisi dan modern Bali. Bahkan menjadi polemik antarpendukung dan penolak paham tersebut.
Tradisi kutipan dalam karya ilmiah telah lama disetujui sebagai konvensi peminjaman buah pikiran orang lain yang dianggap sangat etis. Di lingkungan seni musik tari, dan teater, begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan karena memainkan karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak ada masalah. Tetapi dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego Barat, murni-terap, seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko), tetap dimunculkan sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis dengan nonakademis. Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding nonseniman (biasanya disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga, tetapi tidak pernah diekspos. Sebuah patung berukuran raksasa tak mungkin dikerjakan oleh pematungnya sendirian, di situ banyak tenaga perajin yang berperan penting, tetapi hasilnya tetap diaku sebagai karya pematungnya seorang. Berbeda dengan karya film, yang bisa menjadi lebih terkenal biasanya pemeran tokoh utama film, sementara penulis skenario, sutradara, ilustrator musik, dan pendukung kerja kelompok lainnya, kadangkala tidak sempat dikenal sama sekali.
Manusia adalah mahluk yang dibesarkan dan didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan. Bahkan, dalam kehidupan awal manusia yang sangat bergantung kepada keberadaan manusia dewasa lain, manusia sepenuhnya dibiasakan dalam peniruan-peniruan. Imajinasi dalam menampilkan manusia kera, seperti tokoh cerita Tarzan, adalah terkait dengan kondisi bentukan dari hasil peniruan lingkungan gorilla “penyayang” yang mengasuhnya. Begitupun dengan lahirnya tokoh Reo hasil bentukan lingkungan serigala dalam cerita komik Ganes TH. Adanya kesadaran tentang peran meniru hampir dalam keseluruhan hidup manusia itulah yang melahirkan model pembelajaran copy the master.
Proses kegiatan pembelajaran dah hasil gambar dicatat sebagai bahan analisis bandingan. Analisis yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis situasi pembelajaran berupa catatan perilaku siswa selama pembelajaran dan analisis kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran dengan pola copy the master, pada pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan situasi yang mencolok bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte. Begitupun hasil gambar yang dibuat oleh masing-masing siswa (kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen). Tetapi pada pertemuan pembelajaran lanjutan, suasana kelas copy the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang materi gambar maupun ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah, lebih kaya dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa masing-masing. Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih “tertib, diam, dan sunyi” ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak kurang variatif, terutama dalam hal bentuk yang digambar.
Pada pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk menggambar tanpa tema dan tanpa contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional” anak-anak Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!
Siswa pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang mengintip di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda. Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar, sisanya menggambar tema-tema lain yang beragam. Kenyataan ini membuktikan bahwa gambar pemandangan yang dilengkapi dengan gunung kembar sangat melekat sebagai ciri gambar yang biasa dibuat oleh anak-anak Bali. Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan gambar karya anak-anak Indonesia lainnya.
Saya menyimpan ribuan gambar hasil penelitian kecil tugas kuliah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang saya ampu. Gambar-gambar tersebut didapatkan dari Jakarta, Bandung, sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, semua kabupaten di Bali, dan beberapa daerah di Lombok. Dalam kumpulan tersebut, karya anak-anak TK hingga SMA banyak sekali yang bertema pemandangan dengan latar gunung kembar. Bahkan, saya temukan juga dibuat oleh mahasiswa semester awal Jurusan Pendidikan Seni Rupa.
Apakah gambar pemandangan dengan latar gunung kembar itu arketif anak-anak Indonesia? Unsur bentuk gambar lain yang kerap muncul adalah matahari (: ada yang muncul di sela gunung, ada yang penuh bulat di atas gunung, ada juga yang muncul setengah atau sepertiga di sudut atas kiri atau kanan kertas) yang digambarkan memancarkan sinar, burung dengan bentuk dasar tanda silang, jalan lurus atau berkelok ke arah gunung, sering dilengkapi gambar tiang listrik yang berderet atau pohon-pohon semua digambar dengan sudut pandangan perspektivis. Hal lain yang biasa ditemukan, di kiri-kanan jalan digambarkan hal-hal lain yang beragam: ada kotak-kotak sawah diisi gambar rumpun padi dengan pola bentuk seperti mata panah terbalik, ada juga gambar danau atau sungai lengkap dengan perahu atau pemancing ikan di pinggirnya, atau gambar rumah khas yang dilengkapi vas bunga berderet. Gambar awan, yang dibuat oleh generasi sebelum ada ajaran Tino Sidin di TVRI Pusat, berbentuk deretan garis melengkung setengah lingkaran yang disusun berjenjang menyerupai pola segitiga tumpul, kini bentuknya seperti bentuk kapas meniru gaya awan dalam komik manga. Semua pola tersebut tampil seperti seragam pada semua gambar dari beragam tempat asal pembuat gambar.
Gambar pola gunung kembar memang arketif gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak berkebutuhan khusus dengan spesifikasi retardasi mental pun menggambar menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan anak-anak normal. Berulangkali surfing mencari gambar anak-anak di luar Indonesia, hingga kini belum menemukan gambar dengan pola pemandangan dengan latar gunung kembar. Hal ini semakin jelas mengindikasikan bahwa gambar pola gunung kembar adalah ciri khas gambar anak-anak Indonesia.


Daftar Pustaka :
Suryana, Jajang. 2010. Fenomena Gambar Gunung Kembar. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.co.id/search?q=fenomena+gambar+gunung+kembar. Diakses pada tanggal 05 Juni 2017.
Suryana, Jajang. 2010. Beban Dalam Pola Gambar Gunung Kembar. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.co.id/search?q=beban+dalam+pola+gunung+kembar. Diakses pada tanggal 05 Juni 2017.
Suryana, Jajang. 2015. Kembali Ke Gambar Gunung Kembar. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.co.id/search?q=kembali+ke+gambar+gunung+kembar. Diakses pada tanggal 05 Juni 2017.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMBELAJARAN DI KELAS A.     Pengertin Pembelajaran Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber b...