FENOMENA GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Dalam,
Jajang Suryana (2010) : menyatakan bahwa pola gambar gunung kembar menjadi
fenomena yang menarik sebagai bahan kajian dalam membahas gambar karya
anak-anak Indonesia. Pola ini, selalu muncul dalam gambar buatan anak-anak di
manapun anak-anak itu bertempat tinggal. Pola pengaruh lingkungan yang selama
ini ditunjuk sebagai kekuatan yang bisa mewarnai kegiatan menggambar anak-anak,
ternyata tidak semuanya bisa dibuktikan. Ada sesuatu yang jelas menjadi penanda
munculnya gambar pola gunung kembar, yaitu ketika anak-anak mulai berhubungan
dengan orang lain di luar keluarganya. Terutama ketika anak-anak mulai memasuki
dunia sekolah: Taman Kanak-kanak (TK), berlanjut ke tingkat Sekolah Dasar (SD),
bahkan hingga sekolah menengah (SMP dan SMA).
BEBAN DALAM POLA GAMBAR GUNUNG
KEMBAR
Dalam,
Jajang Suryana (2010) : menyatakan bahwa sebuah kondisi umum yang ditemukan
dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung kembar" adalah 2 bidang
'luas' yang sulit ditaklukan oleh anak-anak. Pola gambar tersebut menyisakan
dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa melelahkan. Seseorang yang
ingin mengisi kedua bidang tersebut, harus berpikir "bagaimana mengisi
lahan luas di depan penggambar hingga ujung kaki gunung"? Kesadaran bahwa
antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang amat luas, amat jauh, memaksa
penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak objek dalam dua bagian lahan
tadi.
Bagi
anak-anak sekolah TK dan SD kelas rendah, kondisi itu tidak terlalu
memberatkan. Bagi mereka, isi tegalan bisa berupa satu rumah, satu pohon besar
(pohon kayu atau kelapa), satu orang, dan satu vas bunga. Bagi mereka isi
tegalan yang luas itu cukup dengan objek-objek tadi. Tetapi bagi anak-anak
kelas 5 dan 6 SD misalnya, apalagi remaja SMP dan SMA, mereka dibebani oleh
'keharusan' mengisi ruang dengan objek gambar yang "rasional". Beban
inilah yang kerap dikeluhkan oleh anak-anak dan remaja yang sejak awal hanya
bisa menggambar mengikuti pola "gunung kembar".
Anak-anak
yang pola berpikir ruangnya telah mengikuti pola pikir teori gambar perspektif,
di antaranya bisa mengatasi beberapa kendala pola gambar "gunung
kembar" itu. Misalnya, mereka menemukan bahwa objek yang dekat dengan
penggambar ukurannya lebih besar, sehingga bisa menutup sebagian ruang gambar.
Sementara gambar objek lainnya yang jauh dari penggambar, dibuat dengan ukuran
lebih kecil, dan sebagian terhalang objek yang lebih dekat posisinya. Objek
disusun bersaf saling menghalangi. Ada juga yang menemukan cara
"perebahan" yang khas. Contohnya, ketika ada gambar objek jalan yang
telah dibuat, maka gambar pohon, tiang listrik, rumah, atau objek lainnya
direbahkan ke arah sisi jalan yang berbeda: ke kiri dan ke kanan. Gambar
kendaran bisa digambarkan rebah ke arah kiri atau ke kanan. Dan yang lebih
unik, ketika ada gambar sebuah lapangan atau kolam dengan dasar gambar segi
empat, objek-objek akan digambarkan rebah keempat arah sisi bentuk sebi empat
objek. Namun kebanyakan anak dan remaja mengalami kesulitan karena mereka
menggunakan pola gambar perspektif burung: semua objek digambar dengan posisi
penggambar dari arah atas.
Yang
perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi
anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung
kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak
objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan
keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek, bahwa
benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek selalu
menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda sebenarnya
di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya. Menggambar
menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan rasio.
Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja. Apalagi
jika beban itu ditambah oleh pertanyaan dan pernyataan guru atau orang tua:
"Kok gambarnya begitu? Mengapa tidak begini dan begitu?"!
Tegalan
yang luas, dalam pola gambar "gunung kembar", menjadi beban
tersendiri bagi anak-anak
yang
telah 'dikuasai' pertimbangan rasionya
Bagian
lahan berair menjadi pilihan yang dianggap 'aman' untuk mengisi ruang gambar
yang luas, di samping tegalan yang tak rimbun
Gambar
jalan dalam pola gambar "gunung kembar" seolah menjadi objek 'wajib'.
Anak-anak tertentu menggarap penggambaran gunung menjadi lebih beragam dari
pola dasar yang telah mereka dapatkan
Pola
gambar perspektif burung, penggambar berada di posisi atas, menyebabkan lahan
gambar yang
semakin
luas, semakin berat beban keharusan dalam mengisi lahan luas tersebut
Objek
yang dekat dengan penggambar telah direkam secara benar (menurut rasio),
sementara objek lainnya masih diposisikan sesuai dengan imajinasi penggambar
Petak-petak
sawah dan vas bunga menjadi sangat penting dalam gambar ini, sehingga ukurannya
(secara rasio) lebih besar daripada objek lainnya, objek rumah misalnya
Kesadaran
perspektif mulai tampak lebih dominan dalam gambar ini. Objek-objek mulai
ditempatkan
'sesuai
dengan posisinya'. Tetapi, beban tegalan masih menjadi beban yang jug dominan
Meniru
lingkungan, paling tidak meniru gambar hasil karya orang dewasa, telah mengubah
bebarapa
bagian gambar yang dibuat oleh anak-anak
Pola
perebahan objek gambar mengikuti arah bidang gambar, misalnya jalan, di sini
kentara sekali, terutama dalam penggambaran kendaraan dan sebagian pohon yang
ada di pinggir jalan. Imajinasi penggambar, dalam gambar ini, sangat dominan dibanding
rasionya
Kembali ke Gambar Gunung Kembar
Dalam,
Jajang Suryana (2015) : menyatakan bahwa rasa penasaran kembali muncul ketika
seorang mahasiswa yang saya bimbing menemukan kenyataan unik di lapangan. Dia
melakukan penelitian quasi eksperimental terhadap dua kelompok (dua kelas) anak
PAUD di sebuah sekolah swasta di Bali. Sekolah ini, sebagaimana sekolah-sekolah
lainnya, menurut informasi yang dapat saya himpun, telah “mengikuti” pesanan
orang tua siswa. Sekolah telah menyelenggarakan ekstra kurikuler berupa ekstra
menggambar, ekstra bahasa Inggris, dan ekstra renang, untuk anak PAUD
binaannya. Salah satu bidang ekstra yang dijadikan sasaran penelitian mahasiswa
saya adalah ekstra menggambar. Kegiatan penelitian yang terkait dengan laporan
skripsi ini, tentu, sangat bisa
dipertanggungjawabkan kandungan ilmiahnya.
Di
lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis kegiatannya, bisa melukis,
mematung, membuat karya kriya, peniruan demi peniruan terus dilakukan. Seniman
yang menjadi pendahulu satu bentuk kegiatan (pola karya) tertentu, tidak pernah
merasa keberatan jika gaya melukis atau mematungnya ditiru seniman lain. Mereka
saling melengkapi temuan dalam membangun gambaran pola karya milik masyarakat
Bali. Oleh karena itu, ketika satu pola karya muncul, kemudian jenis karya
tersebut disukai pasar, tren itu akan menjamur di setiap sudut sentra kegiatan
industri kreatif masyarakat Bali. Hal itu akan berjalan normal tanpa
tuntut-tuding meniru, menjiplak, atau plagiat. Pola tersebut telah menjadi
budaya masyarakat Bali secara umum. Dalam sejumlah kasus, hasil kegiatan di
lingkungan pendidikan formal kesenirupaan pun masih banyak ditemukan karya
mahasiswa yang menampakkan pengaruh warna guru-murid.
Maraknya
tuntutan HaKI (hak atas kekayaan intelektual), hal itu juga muncul dari pikiran
dan ego masyarakat Barat, merasuk juga ke wilayah masyarakat heterogen
tradisi-modern. Wacana tentang masalah tersebut sempat ramai di lingkungan
tradisi dan modern Bali. Bahkan menjadi polemik antarpendukung dan penolak
paham tersebut.
Tradisi
kutipan dalam karya ilmiah telah lama disetujui sebagai konvensi peminjaman
buah pikiran orang lain yang dianggap sangat etis. Di lingkungan seni musik
tari, dan teater, begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan
karena memainkan karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak
ada masalah. Tetapi dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego
Barat, murni-terap, seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko),
tetap dimunculkan sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis
dengan nonakademis. Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding
nonseniman (biasanya disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga,
tetapi tidak pernah diekspos. Sebuah patung berukuran raksasa tak mungkin
dikerjakan oleh pematungnya sendirian, di situ banyak tenaga perajin yang
berperan penting, tetapi hasilnya tetap diaku sebagai karya pematungnya
seorang. Berbeda dengan karya film, yang bisa menjadi lebih terkenal biasanya
pemeran tokoh utama film, sementara penulis skenario, sutradara, ilustrator musik,
dan pendukung kerja kelompok lainnya, kadangkala tidak sempat dikenal sama
sekali.
Manusia
adalah mahluk yang dibesarkan dan didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan.
Bahkan, dalam kehidupan awal manusia yang sangat bergantung kepada keberadaan
manusia dewasa lain, manusia sepenuhnya dibiasakan dalam peniruan-peniruan.
Imajinasi dalam menampilkan manusia kera, seperti tokoh cerita Tarzan, adalah
terkait dengan kondisi bentukan dari hasil peniruan lingkungan gorilla
“penyayang” yang mengasuhnya. Begitupun dengan lahirnya tokoh Reo hasil
bentukan lingkungan serigala dalam cerita komik Ganes TH. Adanya kesadaran
tentang peran meniru hampir dalam keseluruhan hidup manusia itulah yang
melahirkan model pembelajaran copy the master.
Proses
kegiatan pembelajaran dah hasil gambar dicatat sebagai bahan analisis
bandingan. Analisis yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis situasi
pembelajaran berupa catatan perilaku siswa selama pembelajaran dan analisis
kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran dengan pola copy the master, pada
pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan situasi yang mencolok
bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte. Begitupun hasil
gambar yang dibuat oleh masing-masing siswa (kelompok kontrol maupun kelompok
eksperimen). Tetapi pada pertemuan pembelajaran lanjutan, suasana kelas copy
the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang materi gambar maupun
ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah, lebih kaya
dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa masing-masing.
Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih “tertib, diam, dan
sunyi” ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak kurang variatif,
terutama dalam hal bentuk yang digambar.
Pada
pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan perlakuan yang berbeda kepada kedua
kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk menggambar tanpa tema dan tanpa
contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang
menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional” anak-anak
Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!
Siswa
pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan
dengan latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang
mengintip di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda.
Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di antaranya menggambar pemandangan dengan
latar gunung kembar, sisanya menggambar tema-tema lain yang beragam. Kenyataan
ini membuktikan bahwa gambar pemandangan yang dilengkapi dengan gunung kembar
sangat melekat sebagai ciri gambar yang biasa dibuat oleh anak-anak Bali.
Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan gambar karya anak-anak Indonesia
lainnya.
Saya
menyimpan ribuan gambar hasil penelitian kecil tugas kuliah mahasiswa yang
mengikuti mata kuliah yang saya ampu. Gambar-gambar tersebut didapatkan dari
Jakarta, Bandung, sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, semua kabupaten di Bali,
dan beberapa daerah di Lombok. Dalam kumpulan tersebut, karya anak-anak TK
hingga SMA banyak sekali yang bertema pemandangan dengan latar gunung kembar.
Bahkan, saya temukan juga dibuat oleh mahasiswa semester awal Jurusan
Pendidikan Seni Rupa.
Apakah
gambar pemandangan dengan latar gunung kembar itu arketif anak-anak Indonesia?
Unsur bentuk gambar lain yang kerap muncul adalah matahari (: ada yang muncul
di sela gunung, ada yang penuh bulat di atas gunung, ada juga yang muncul
setengah atau sepertiga di sudut atas kiri atau kanan kertas) yang digambarkan
memancarkan sinar, burung dengan bentuk dasar tanda silang, jalan lurus atau
berkelok ke arah gunung, sering dilengkapi gambar tiang listrik yang berderet
atau pohon-pohon semua digambar dengan sudut pandangan perspektivis. Hal lain
yang biasa ditemukan, di kiri-kanan jalan digambarkan hal-hal lain yang
beragam: ada kotak-kotak sawah diisi gambar rumpun padi dengan pola bentuk
seperti mata panah terbalik, ada juga gambar danau atau sungai lengkap dengan
perahu atau pemancing ikan di pinggirnya, atau gambar rumah khas yang
dilengkapi vas bunga berderet. Gambar awan, yang dibuat oleh generasi sebelum
ada ajaran Tino Sidin di TVRI Pusat, berbentuk deretan garis melengkung
setengah lingkaran yang disusun berjenjang menyerupai pola segitiga tumpul,
kini bentuknya seperti bentuk kapas meniru gaya awan dalam komik manga. Semua
pola tersebut tampil seperti seragam pada semua gambar dari beragam tempat asal
pembuat gambar.
Gambar
pola gunung kembar memang arketif gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak
berkebutuhan khusus dengan spesifikasi retardasi mental pun menggambar
menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan anak-anak normal. Berulangkali
surfing mencari gambar anak-anak di luar Indonesia, hingga kini belum menemukan
gambar dengan pola pemandangan dengan latar gunung kembar. Hal ini semakin
jelas mengindikasikan bahwa gambar pola gunung kembar adalah ciri khas gambar
anak-anak Indonesia.
Daftar
Pustaka :
Suryana, Jajang. 2010. Fenomena Gambar Gunung Kembar. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.co.id/search?q=fenomena+gambar+gunung+kembar.
Diakses pada tanggal 05 Juni 2017.
Suryana, Jajang. 2010. Beban Dalam Pola Gambar Gunung Kembar. Dalam
http://rupasenirupa.blogspot.co.id/search?q=beban+dalam+pola+gunung+kembar.
Diakses pada tanggal 05 Juni 2017.
Suryana, Jajang. 2015. Kembali Ke Gambar Gunung Kembar. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.co.id/search?q=kembali+ke+gambar+gunung+kembar.
Diakses pada tanggal 05 Juni 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar